Kamis, 19 Juni 2008
Masyarakat Adat Limbai Menolak Kehadiran Perusahaan HPH
Hukum dan peraturan perundangan-undangan lainnya sangat ampuh dalam upaya menakuti dan mengintimidasi masyarakat adat agar menyerahkan hak-haknya. Persoalan ini yang dialami masyarakat adat Limbai di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Nanga Serawai, Kabupaten Sintang. Karena masyarakat adat menolak masuknya perusahaan HPH yang ingin mengambil kayu di hutan adat, mereka dituduh anti pembangunan, tidak menghormati hukum (negara). Karena mereka sedang memanfaatkan kayu di hutan adat tersebut, mereka dituduh sebagai "illegal logging" oleh aparat kecamatan. Bahkan mereka mau dilaporkan kepada pihak keamanan karena mengambil kayu tanpa ijin.
Ternyata aturan yang kerap kali dijadilan pemerintah dan pengusaha untuk menakuti dan mengintimidasi masyarakat adat adalah UUD 1945 pada pasal 33 yang salah satu isinya mengatakan tanah, hutan beserta isinya dikuasai oleh Negara. Dan kadang kala pasal ini tidak baca habis oleh oknum-oknum tersebut. Perusahaan yang juga didukung oleh pihak pemerintah Kecamatan hanya memakai kata “dikuasai oleh negara”, yang kemudian ditafsirkan bahwa Negara “memiliki” tanah beserta alamnya. Dari pernyataan ini mengganggap bahwa masyarakat tidak berhak memiliki hutan, tanah dan alam lainnya, bahkan tidak berhak menolak perusahaan yang ingin mengambil kayu di hutan adat. Selain UU tersebut, yang tidak kalah penting adalah perusahaan dan aparat pemerintah selalu mengandalkan “hitam di atas putih”, yaitu secarik kertas yang memberikan legalitas (ijin) kepada perusahaan sehingga berhak mengambil kayu, tanah di wilayah masyarakat adat.
Ternyata proses pemaksaan, penindasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat, terutama dipedalaman terus berlangsung hingga kini. Terutama pemaksaan agar masyarakat adat mau menyerahkan hutan dan sumber daya alam lainnya kepada perusahaan. Padahal di lain pihak sekarang ini orang pada sibuk membicarakan bagaimana memberantas perusakan hutan dan lingkungan hidup. Namun wacana ini tidak berlaku di daerah-daerah pedalaman. Seperti yang terjadi di daerah Serawai dan sekitarnya, dimana aparat pemerintah kecamatan bersama dengan pihak perusahaan sibuk mensosialisasikan kepada masyarakat adat agar menerima sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu. Ternyata “hukum negara menjadi alat ampuh untuk menakuti dan mengitimidasi masyarakat adat agar bersedia menyerahkan wilayahnya kepada perusahaan”.
Situasi inilah yang dialami beberapa kampung di pedalaman Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Salah satunya adalah Masyarakat Adat Limbai yang bermukim di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Serawai, dimana pada tahun 2006 masuk sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu. Perusahaan tersebut adalah CV Pangkar Begili. Masuknya CV Pangkar Begili ke wilayah masyarakat adat dibarengi dengan mendirikan bascamp di tanah milik masyarakat adat dan alat-alat berat pengangkut kayu. “Perusahaan sebelumnya tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat Nusa Bakti sebagai pemilik hutan. Apakah menerima atau menolak keberadaan perusahaan”, kata Pak Yohanes, salah seorang warga Nusa Bakti. Hutan (kayu) dan wilayah yang akan dijadikan areal CV Pangkar Begili merupakan hutan yang secara turun-temurun menjadi sumber pengahasilan masyarakat. Karena di tempat tersebut masyarakat membuat ladang, mengambil kayu untuk ramu rumah, mengambil rotan bahkan tempat perkuburan nenek moyang.
Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa ijin yang dimilik CV Pangkar Begili baru mendapat ijin rekomendasi dari Bupati Sintang dengan Nomor 168 Tahun 2001 tanggal 23 Desember 2001. Dan lokasi yang ditentukan berdasarkan ijin Bupati tersebut adalah di Sungai Serawai, bukan di wilayah Dusun Nusa Bakti. Selain itu ijin dari Menteri Kehutanan belum keluar, masih dalam proses legalisasi. “Walaupun belum ada ijin resmi dari Pusat (Menteri Kehutanan) perusahaan sudah melakukan pengkliman terhadap hutan yang ditandai dengan patok atau plang dari seng di kayu milik masyarakat”, kata warga Nusa Bakti lainya.
Setelah mandirikan bascamp dan alat-alat berat, barulah perusahaan bersama dengan pihak kecamatan melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat di Nusa Bakti. Dalam sosialisasi tersebut, dilakukan negosiasi dengan masyarakat. Sehingga kalau memang perusahaan ingin masuk maka ada beberapa syarat yang ditawarkan oleh masyarakat adat, yaitu a) memprioritaskan masyarakat Nusa Bakti untuk menjadi karyawan atau tenaga kerja di perusahaan tersebut; b) perusahaan harus menyediakan alat transportasi berupa 1 unit kendaran umum dan 1 unit dump truck untuk mengangkut kayu olahan masyarakat; c) perusahaan harus menyediakan sarana umum bagi masyarakat adat, seperti rumah ibadat, rumah adat, listrik untuk masing-masing rumah warga, dan kantor dusun; d) perusahaan harus memfasilitasi dan membiayai kegiatan karang taruna dusun Nusa Bakti. Syarat ini sudah dibuat proposan dan diajukan kepada perusahaan CV Pangkar Begili pada tanggal 25 Oktober 2006.
Syarat yang diajukan oleh masyarakat adat tersebut hingga sekarang tidak ada realisasinya. Melihat ketidak seriusan perusahaan mananggapi syarat yang diajiman, masyarakat adat di Nusa Bakti sepakat mengambil sikap untuk menolak kehadiran perusahaan CV Pangkar Begili. Apalagi perusahaan telah melakukan crossing (survey) ke hutan-hutan milik masyarakat adat tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Survey yang dilakukan perusahaan dengan cara membuat tanda-tanda di pohon kayu dengan menggunakan seng dicat merah. “Yang membuat masyarakat kami kesal lagi perusahaan telah menggusur tempat keramat, perkuburan kakek, nenek kami yang telah meninggal dunia tanpa ada basa-basi apalagi mau mengganti kerugian”, kata warga Nusa Bakti lainya yang tidak mau disebutkan namanya. Sehingga kami harus bersikap untuk menghentikan perusahaan tersebut agar tidak mengambil hutan milik kami. Karena kami menganggap hutan adalah sumber ekonomi bagi kelangsungan hidup kami dan anak-anak cucu kami, tambahnya lagi.
Surat penolakan yang dibuat masyarakat adat Nusa Bakti pada tanggal 2 April 2007 disampaikan kepada pihak perusahaan, dimana tembusannya kepada camat Serawai, Kapolsek Serawai, Bupati Sintang, Kapolres Sintang, Dinas Kehutanan Sintang, Gubernur Kalbar, Dinas Kehutanan Propinsi, Kapolda Kalbar, Menteri Kehutanan dan Presiden Republik Indonesia. Tujuannya agar perusahaan menghentikan aktivitas pengkliman wilayah, dan agar Menteri Kehutanan tidak memberikan ijin kepada perusahaan tersebut.
Alasan masyarakat adat Nusa Bakti membuat surat penolakan antar lain: a) perusahaan sebelum melakukan survey tidak memberi tahu dulu kepada masyarakat. Masyarakat menganggap perusahaan telah mencuri hutan milik masyarakat adat; b) perusahaan tidak memenuhi janji-janjinya untuk mengadakan upacara adat “Sengkelan Jalan Adat”, di lokasi logpond. Masyarakat adat menganggap perusahaan ingkar janji dan dikenakan adat “Kempunan Kampung”. Janji lain yang tidak dipenuhi oleh perusahaan adalah pengadaan sarana dan prasarana bagi kepentingam umum di kampung Nusa Bakti, seperti yang telah ditulis di atas; c) perusahaan mengancam masyarakat adat sebagai pelaku ilegal logging, kalau mengambil kayu diwilayah adat merekaa yang diklim oleh perusahaan.
Bukan di wilayah ini saja masyarakat adat menolak keberadaan sebuah perusahaan yang ingin mengambil hutan (kayu), tambang dan tanah milik masyarakat adat. Hampir diseluruh wilayah Indonesia, bahkan luar negeri. Apalagi dilakukan dengan cara itemidasi, pemaksaan dengan menggunakan aturan negara, aparat keamanan, dan aparat pemerintah. Sebenarnya sudah menjadi perhatian kita semua untuk tetap menukung masyarakat adat dalam berjuang mempertahankan dan melestarikan hutan, tanah dan air demi keberlangsungan hidup kita juga. Sekarang negara Indonesia di catat sebagai negara perusak hutan terbesar dan terlaju di dunai. Apakah rekor ini mau kita tambah menjadi lebih rusak atau kita mulai memperbaikinya lagi? Berilah pengelolaan hutan, tanah dan wilayah kepada masyarakat adat setempat berdasarkan aturan yang mereka punya.