Hutan Dibabat Rakyat Melarat

Kamis, 19 Juni 2008

Masyarakat Adat Limbai Menolak Kehadiran Perusahaan HPH

Hukum dan peraturan perundangan-undangan lainnya sangat ampuh dalam upaya menakuti dan mengintimidasi masyarakat adat agar menyerahkan hak-haknya. Persoalan ini yang dialami masyarakat adat Limbai di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Nanga Serawai, Kabupaten Sintang. Karena masyarakat adat menolak masuknya perusahaan HPH yang ingin mengambil kayu di hutan adat, mereka dituduh anti pembangunan, tidak menghormati hukum (negara). Karena mereka sedang memanfaatkan kayu di hutan adat tersebut, mereka dituduh sebagai "illegal logging" oleh aparat kecamatan. Bahkan mereka mau dilaporkan kepada pihak keamanan karena mengambil kayu tanpa ijin.


Ternyata aturan yang kerap kali dijadilan pemerintah dan pengusaha untuk menakuti dan mengintimidasi masyarakat adat adalah UUD 1945 pada pasal 33 yang salah satu isinya mengatakan tanah, hutan beserta isinya dikuasai oleh Negara. Dan kadang kala pasal ini tidak baca habis oleh oknum-oknum tersebut. Perusahaan yang juga didukung oleh pihak pemerintah Kecamatan hanya memakai kata “dikuasai oleh negara”, yang kemudian ditafsirkan bahwa Negara “memiliki” tanah beserta alamnya. Dari pernyataan ini mengganggap bahwa masyarakat tidak berhak memiliki hutan, tanah dan alam lainnya, bahkan tidak berhak menolak perusahaan yang ingin mengambil kayu di hutan adat. Selain UU tersebut, yang tidak kalah penting adalah perusahaan dan aparat pemerintah selalu mengandalkan “hitam di atas putih”, yaitu secarik kertas yang memberikan legalitas (ijin) kepada perusahaan sehingga berhak mengambil kayu, tanah di wilayah masyarakat adat.


Ternyata proses pemaksaan, penindasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat, terutama dipedalaman terus berlangsung hingga kini. Terutama pemaksaan agar masyarakat adat mau menyerahkan hutan dan sumber daya alam lainnya kepada perusahaan. Padahal di lain pihak sekarang ini orang pada sibuk membicarakan bagaimana memberantas perusakan hutan dan lingkungan hidup. Namun wacana ini tidak berlaku di daerah-daerah pedalaman. Seperti yang terjadi di daerah Serawai dan sekitarnya, dimana aparat pemerintah kecamatan bersama dengan pihak perusahaan sibuk mensosialisasikan kepada masyarakat adat agar menerima sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu. Ternyata “hukum negara menjadi alat ampuh untuk menakuti dan mengitimidasi masyarakat adat agar bersedia menyerahkan wilayahnya kepada perusahaan”.


Situasi inilah yang dialami beberapa kampung di pedalaman Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Salah satunya adalah Masyarakat Adat Limbai yang bermukim di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Serawai, dimana pada tahun 2006 masuk sebuah perusahaan yang bergerak di bidang penebangan kayu. Perusahaan tersebut adalah CV Pangkar Begili. Masuknya CV Pangkar Begili ke wilayah masyarakat adat dibarengi dengan mendirikan bascamp di tanah milik masyarakat adat dan alat-alat berat pengangkut kayu. “Perusahaan sebelumnya tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat Nusa Bakti sebagai pemilik hutan. Apakah menerima atau menolak keberadaan perusahaan”, kata Pak Yohanes, salah seorang warga Nusa Bakti. Hutan (kayu) dan wilayah yang akan dijadikan areal CV Pangkar Begili merupakan hutan yang secara turun-temurun menjadi sumber pengahasilan masyarakat. Karena di tempat tersebut masyarakat membuat ladang, mengambil kayu untuk ramu rumah, mengambil rotan bahkan tempat perkuburan nenek moyang.


Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa ijin yang dimilik CV Pangkar Begili baru mendapat ijin rekomendasi dari Bupati Sintang dengan Nomor 168 Tahun 2001 tanggal 23 Desember 2001. Dan lokasi yang ditentukan berdasarkan ijin Bupati tersebut adalah di Sungai Serawai, bukan di wilayah Dusun Nusa Bakti. Selain itu ijin dari Menteri Kehutanan belum keluar, masih dalam proses legalisasi. “Walaupun belum ada ijin resmi dari Pusat (Menteri Kehutanan) perusahaan sudah melakukan pengkliman terhadap hutan yang ditandai dengan patok atau plang dari seng di kayu milik masyarakat”, kata warga Nusa Bakti lainya.


Setelah mandirikan bascamp dan alat-alat berat, barulah perusahaan bersama dengan pihak kecamatan melakukan sosialisasi kepada masyarakat adat di Nusa Bakti. Dalam sosialisasi tersebut, dilakukan negosiasi dengan masyarakat. Sehingga kalau memang perusahaan ingin masuk maka ada beberapa syarat yang ditawarkan oleh masyarakat adat, yaitu a) memprioritaskan masyarakat Nusa Bakti untuk menjadi karyawan atau tenaga kerja di perusahaan tersebut; b) perusahaan harus menyediakan alat transportasi berupa 1 unit kendaran umum dan 1 unit dump truck untuk mengangkut kayu olahan masyarakat; c) perusahaan harus menyediakan sarana umum bagi masyarakat adat, seperti rumah ibadat, rumah adat, listrik untuk masing-masing rumah warga, dan kantor dusun; d) perusahaan harus memfasilitasi dan membiayai kegiatan karang taruna dusun Nusa Bakti. Syarat ini sudah dibuat proposan dan diajukan kepada perusahaan CV Pangkar Begili pada tanggal 25 Oktober 2006.


Syarat yang diajukan oleh masyarakat adat tersebut hingga sekarang tidak ada realisasinya. Melihat ketidak seriusan perusahaan mananggapi syarat yang diajiman, masyarakat adat di Nusa Bakti sepakat mengambil sikap untuk menolak kehadiran perusahaan CV Pangkar Begili. Apalagi perusahaan telah melakukan crossing (survey) ke hutan-hutan milik masyarakat adat tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Survey yang dilakukan perusahaan dengan cara membuat tanda-tanda di pohon kayu dengan menggunakan seng dicat merah. “Yang membuat masyarakat kami kesal lagi perusahaan telah menggusur tempat keramat, perkuburan kakek, nenek kami yang telah meninggal dunia tanpa ada basa-basi apalagi mau mengganti kerugian”, kata warga Nusa Bakti lainya yang tidak mau disebutkan namanya. Sehingga kami harus bersikap untuk menghentikan perusahaan tersebut agar tidak mengambil hutan milik kami. Karena kami menganggap hutan adalah sumber ekonomi bagi kelangsungan hidup kami dan anak-anak cucu kami, tambahnya lagi.


Surat penolakan yang dibuat masyarakat adat Nusa Bakti pada tanggal 2 April 2007 disampaikan kepada pihak perusahaan, dimana tembusannya kepada camat Serawai, Kapolsek Serawai, Bupati Sintang, Kapolres Sintang, Dinas Kehutanan Sintang, Gubernur Kalbar, Dinas Kehutanan Propinsi, Kapolda Kalbar, Menteri Kehutanan dan Presiden Republik Indonesia. Tujuannya agar perusahaan menghentikan aktivitas pengkliman wilayah, dan agar Menteri Kehutanan tidak memberikan ijin kepada perusahaan tersebut.


Alasan masyarakat adat Nusa Bakti membuat surat penolakan antar lain: a) perusahaan sebelum melakukan survey tidak memberi tahu dulu kepada masyarakat. Masyarakat menganggap perusahaan telah mencuri hutan milik masyarakat adat; b) perusahaan tidak memenuhi janji-janjinya untuk mengadakan upacara adat “Sengkelan Jalan Adat”, di lokasi logpond. Masyarakat adat menganggap perusahaan ingkar janji dan dikenakan adat “Kempunan Kampung”. Janji lain yang tidak dipenuhi oleh perusahaan adalah pengadaan sarana dan prasarana bagi kepentingam umum di kampung Nusa Bakti, seperti yang telah ditulis di atas; c) perusahaan mengancam masyarakat adat sebagai pelaku ilegal logging, kalau mengambil kayu diwilayah adat merekaa yang diklim oleh perusahaan.


Bukan di wilayah ini saja masyarakat adat menolak keberadaan sebuah perusahaan yang ingin mengambil hutan (kayu), tambang dan tanah milik masyarakat adat. Hampir diseluruh wilayah Indonesia, bahkan luar negeri. Apalagi dilakukan dengan cara itemidasi, pemaksaan dengan menggunakan aturan negara, aparat keamanan, dan aparat pemerintah. Sebenarnya sudah menjadi perhatian kita semua untuk tetap menukung masyarakat adat dalam berjuang mempertahankan dan melestarikan hutan, tanah dan air demi keberlangsungan hidup kita juga. Sekarang negara Indonesia di catat sebagai negara perusak hutan terbesar dan terlaju di dunai. Apakah rekor ini mau kita tambah menjadi lebih rusak atau kita mulai memperbaikinya lagi? Berilah pengelolaan hutan, tanah dan wilayah kepada masyarakat adat setempat berdasarkan aturan yang mereka punya.

Selamatkan Lingkungan Hidup

Minggu, 15 Juni 2008

Aksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Ketapang, Kalbar

Massa Datangi Kantor Bupati dan Parlemen

Tolak EkspansiPerkebunan Sawit, Tuntut Pengembangan Kebun Karet
Ketapang,- Setelah menyampaikan aspirasi di depan Dinas Perkebunan Kabupaten Ketapang, massa Forum Perimakng Hutan Tanah A’ek (FPHTA) yang melakukan aksi damai memperingati Hari Lingkungan Hidup se-Dunia (5/6), kemudian melanjutkan long march ke Kantor Bupati Ketapang. Mereka sampai ditempat ini sekitar pukul 09.30 WIB.

Kedatangan mereka itu dikawal puluhan anggota Polres Ketapan dan Sat Pol PP. Ratusan massa yang datang membawa poster dan spanduk, bahkan bibit karet. Yel-yel perjuangan mereka nyanyian. Aspirasi mereka suarakan melalui megaphone. Bendera merah putih yang dibawa dikibar-kibarkan, poster dan famplet diperlihatkan berikut spanduk yang menyuarakan “Stop Perusakan Hutan”.

Dari koordinator lapangan aksi damai itu, mereka menyebutkan kedatangan mereka sebagai masyarakat ingin bertemu dengan Bupati dan Wakil Bupati, untuk menghadapi penyampaian aspirasi mereka itu.

Tampil sebagai penyampai aspirasi ketika itu adalah Aloysius Sujarni Sekjen AMA Kalbar. “Saya tak akan bicara kalau tak ada yang menghadapi. Kami datang dengan damai, tidak dengan anarkis, kami ingin bicara dengan bupati,” kata Drs Sujarni Alloy MA, Sekjend AMA Kalbar.

Dalam orasinya di depan tangga Kantor Bupati Ketapang, dia menyebutkan masyarakat adat adalah korban kebijakan. Tak sedikit tanah adat tergusur, kuburan tergusur akibat ekspansi perkebunan. Keinginan pengembangan perkebunan karet juga disuarakan di tempat ini. Mereka menyebutkan masyarakat sudah sejahtera dengan karet.

Sehubungan Bupati dan Wakil Bupati Ketapang tak berada di tempat, dialog tersebut dihadiri Sekda Ketapang Drs H Bachtiar. Di depan sekda, mereka menyampaikan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di Marau, Tumbang Titi dan lain sebagainya. Setelah menyampaikan uneg-unegnya, mereka menginginkan sekda atas nama Pemkab Ketapang menandatangani komitment untuk menindaklanjuti tuntutan mereka. Karena menyangkut kebijakan, maka Bachtiar menerangkan yang berwenang dalam kebijakan politis adalah bupati dan wakil bupati. “Sekda adalah jabatan pegawai negeri sipil. Sekda hanya membantu penyelenggaraan pemerintahan,” terang Bachtiar.

Tak lama setelah tatap muka dengan sekda di halaman kantor bupati, mereka kemudian long march ke DPRD Ketapang. Sampai di tempat ini sekitar jam 11.00 WIB.

Tak lama setelah menyampaikan orasi di depan halaman kantor DPRD Ketapang, kemudian mereka dialog di ruang utama DPRD. Dialog itu dipimpin Ketua DPRD Ketapang H.Kadarisman Bersah, dan Wakil Ketua Yohanes Suparjiman, serta beberapa anggota Dewan.

Selain pernyataan sikap, berbagai kondisi di lapangan dibeberapa kecamatan juga mereka paparkan dari perwakilan masyarakat yang hadir. Baik perkebunan, pertambangan, maupun illegal logging mereka suarakan saat itu. Bagaimana kondisi di Simpang Hulu, Simpang Dua, Nanga Tayap, Tumbang Titi, Marau, Air Upas dan lain diungkapkan dalam pertemuan itu. Dialog sempat diwarnai debat.

Pertemuan itu berlangsung sampai pukul 13.30 WIB. Akhirnya dari pertemuan tersebut, ketua DPRD Kadarisman Bersah menyampaikan dari pertemuan terbatas, DPRD tetap komitment untuk menindaklanjuti aspirasi masyarakat. (ndi)

Lokakarya Pertemuan Perempuan Adat

Jumat, 13 Juni 2008


Membangun Gerakan Perempuan Adat dalam Memperjuangkan Hak-haknya

Sangat konpleksnya persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan adat di kampung-kampung. Persoalan perempuan semakin meningkat sejak dikeluarkannya berbagai kebijakan pemerintah yang sarat dengan kepentingan ekonomi semata. Ditambah dengan kebijakan yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam di tanah-tanah masyarakat adat. Dalam kondisi sumber daya alam yang sudah habis, maka otomatis kaum perempuan tidak lagi mendapatkan pekerjaan, seperti kegiatan anyam-mengayam, tidak ada lagi kegiatan gotong royong bagi kaum perempuan, yang parah lagi adalah perempuan selalu menjadi objek kawin kontrak. Kalau berbicara kebijakan pemerintah yang mengakomodir hak-hak perempuan sangat minim sekali. Sehingga kasus-kasus terhadap perempuan adat jarang sekali direspon cepat oleh pemerintah. Apalagi kasus-kasus terhadap kaum perempuan di kampung-kampung.

Kondisi ini yang mendorong LBBT untuk secara terus-menerus melakukan kegiatan penyadaran kepada kaum perempuan adat. Kegiatan penyadaran kepada kaum permpuan adat bertujuan agar kaum perempuan menyadari hak-haknya atas pengelolaan sumber daya alam dan kehidupan yang layak. Pada langkah awal biasaya LBBT training gender kepada kaum perempuan. Training gender dilakukan di kampung-kampung terpencil di Kalimantan Barat. Dari training ini, biasanya kaum perempuan mulai menyadari apa yang menjadi hak dan kewajibannya dan apa yang menjadi hak dan kewajiban kaum laki-laki.

Selain training gender, LBBT juga melakukan seminar dan lokakarya bagi kaum perempuan adat. Seminar dan lokakarya bertujuan untuk menyampaikan informasi-informasi bekernaan dengan hak-hak kaum perempuan adat serta untuk membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat. Membangun sinergisitas gerakan kaum perempuan adat dimaksudkan agar para kaum perempuan adat memiliki rasa solidaritas dalam memperjuangkan hak-hak kaumnya yang terabaikan.

Mengelola Padang Ilalang Menjadi Pohon Karet

Senin, 19 Mei 2008


Pengalaman dari Masyarakat Adat Menukung

Kalau kita pernah melewati jalan darat atau pun pernah berjalan-jalan ke daerah Menukung, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, terutama di daerah-daerah pedalaman – Menukung Darat dan Menukung Jalur Kiri Mudik. Kurang lebih 1 – 3 Km atau 1/2 jam jalan kaki saja keluar dari Menukung Kota menuju ke kampung-kampung yang ada dipedalaman, seperti ke Kampung Laman Mumbung atau ke Kampung Bunyau dan kampung-kampung lainnya, kita akan dihadapkan pada luasnya hamparan padang ilalang. Kita semakin bingung, kalau kita ingat bahwa masyarakat adat, khususnya Dayak dalam memenuhi sumber penghidupannya sehari-hari mengutamakan ladang ilir-balik yang dilakukan hampir setiap tahunya. Bagaimana cara masyarakat adat membuat ladang ilir balik tersebut? Apakah mereka berladang di hamparan padang ilalang? Ataukah mereka tidak berladang lagi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?


Pertanyaan ini membuat kita semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dari mana masyarakat adat dalam mengelola pada ilalang. Menurut cerita masyarakat adat disini, dulunya wilayah ini merupakan hutan rimba dengan tanah yang subur, terutama untuk berladang dan bercocok tanam. Karena perkembangan zaman yang semakin hari semakin berubah, ditambah lagi dengan masuknya berbagai aktivitas perusahaan skala besar dengan dalih “pembangunan bagi rakyat, menyiapkan lapangan kerja bagi rakyat” dengan cara mengambil isi alam, seperti kayu, tanah, dan batu bara. Setelah semuanya dibabat habis oleh perusahaan, masyarakat adat tetap saja miskin, mereka diberikan hamparan padang ilalang yang sangat luas. Yang terjadi adalah hutan rimba dengan tanah yang subur berubah dratis menjadi hamparan padang ilalang. Dengan adanya kondisi lahan seperti ini hampir setiap musim kemarau atau 4 hari saja tidak hujan pasti lahan ilalang akan terbakar. Kebakaran tidak hanya menghanguskan pohon ilalang tapi yang menyakitkan masyarakat adat adalah mengahanguskan kebun karet dan tanam tumbuh yang bernilai ekonomis milik mayarakat adat. Kondisi ini membuat mereka trauma untuk berkebun dan bercocok tanam.


Menyadari kondisi alam yang semakin hari semakin tandus, masyarakat adat mulai memikirkan bagaimana cara mengelola hamparan ilalang dan menjaganya dari api. Kalau menghandalkan hutan primer untuk berladang dan memenuhi kebutuhan hidup tidak memungkinkan lagi. Hal ini disebabkan selain lahan (hutan) yang sudah mulai kritis, juga memerlukan waktu yang cukup lama menuju ke wilayah hutan. Masyarakat adat mulai melakukan diskusi dan dialog dengan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dalam mengelola lahan ilalang sehingga menjadi lahan yang bernilai ekonomis (produktif). Diskusi yang dibangun salah satunya dengan pihak paroki Menukung, pihak LSM dan pihak lainnya. Hasil dari diskusi tidak disia-siakan masyarakat adat. Mereka mulai mempraktekan apa yang mereka dapat dari diskusi dan pertemuan. Aktivitas utama yang mereka lakukan adalah membentuk kelompok royong. Kelompok ini dimaksudkan selain mempermudah cara mengerjakan lahan, juga dimaksudkan untuk secara bersama-sama menjaga lahan yang sudah di tanam dari lahapan si jago mereh (api). Tanaman yang ditanam adalah pohon karet. Selain itu masyarakat adat juga menanam-tanaman lain seperti berkebun sayur, menanam pohon tengkawang, belian dan lainnya dalam rangka menghijaukan lahan ilalang.


Kondis sekarang

Berkat ketekunan dan keuletan masyarakat adat, maka kini kondisi lahan yang dulunya penuh dengan hamparan padang ilalang hampir berubah totol menjadi pohon yang bernilai ekonomis. Tiap-tiap kepala keluarga masyarakat adat di Menukung sekarang memiliki tidak kurang 2 - 3 hektar. Masyarakat adat menyadari bahwa tidak bisa mereka hanya mengandalkan sumber ekonomi dari berhuma (ladang) bukit saja. Karena selain menyebabkan tumbuhnya ilalang juga karena tanah yang masih hutan lebat semakin berkurang. Kini lahan sudah hijau oleh pohon karen, pohon tengkawang, pohon buah-buahan lainnya. Selain dapat menambah sumber penghidupan, kegiatan ini juga dilakukan agar tanah menjadi subur. Dan tidak kalah penting adalah hasil kebun sayur-sayuran yang banyak dikelola oleh kaum perempuan sudah berhasil dan dijual ke pasar kota Menukung.


Masyarakat adat sekarang tinggal menunggu waktu kurang lebih 4 – 5 tahun lagi dapat memanfaatkan hasil dari berkebun karet. Apalagi sekarang harga karet semakin mahal. Tidak menutup kemungkinan masyarakat adat di daerah ini akan mengandalkan sumber penghidupannya dari pohon karet tersebut. Masyarakat adat di daerah ini mengusahakan bibit karet secara mandiri. Mereka dapat melakukan negosiasi dengan Pemda agar mendapat bibit karet. Mereka sangat menolah dengan program-program pembangunan yang mengutamakan kebun sawit dan perusahaan-perusahaan skala besar yang ingin mengusahakan tanah mereka.

Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X (PNLH X) Walhi

Jumat, 09 Mei 2008


Bumi Untuk Kehidupan yang Bermartabat

Korupsi, kekerasan, penangkapan, perampasan, penindasan, penggusuran terhadap hak-hak rakyat oleh para penguasa republik ini masih tetap berlangsung hingga sekarang. Tempat tinggal, tanah dan kekayaan alamnya yang merupakan sumber penghidupan masyarakat semakin hari semakin hilang. Sumber penghidupan yang hilang bukan karena dimanfaatkan oleh rakyat itu sendiri, tapi dijadikan lahan sawit, HPH, pertambangan, HTI dan usaha lainnya untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Harga minyak naik, kebutuhan pokok apa lagi yang pada akhirnya membuat rakyatt semakin miskin, terjadinya gizi buruk, busung lapar. Hampir setiap hari kita mendengar terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan pemilik modal. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, rakyat ditembak secara membabi buta oleh oknum-oknum yang mengakui dirinya pelindung rakyat, polisi hutan, penjaga air dan sebagainya. Dimana keadilan bagi rakyat? Di mana Bumi untuk kehidupan yang bermartabat bar Rakyat?

Inilah salah satu topik yang hangat dibicarakan dalam pertemuan nasional lingkungan hidup X Walhi di Yogyakarta, 16 - 21 April 2008. Pertemuan ini merupakan forum tertinggi Walhi, karena semua anggota Walhi yang berada di tiap wilayah ikut serta dalam kegiatan ini. Pertemuan yang diselenggarakan setiap 3 tahun sekali, selain merefleksi atas kinerja dan program kerja, juga menjadi ajang pemilihan para fungsionaris Walhi yang baru. Pengurus Walhi yang terpilih diharapkan mampu melakukan perubahan sosial yang lebih baik bagi kehidupan rakyat di negeri tercinta indonesia.

Sebelum acara puncak dari PNLH X Walhi (19 - 21 April) dimulai, dilakukan berbagai rangkaian (paralel) kegiatan untuk memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup baik secara lokal maupun nasional yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut antara: Seminar, Training dan Workshop yang diselenggarakan selama 3 hari. Selain memberikan gambaran kondisi lingkungan hidup yang terjadi, juga memotivasi anggota dan para pengurus Walhi ke depan dalam melakukan gerakan sosial demi terciptanya lingkungan hidup yang adil bagi rakyat.

Acara yang paling pokok dan ditunggu adalah pembahasan 3 agenda utama PNLH X Walhi dan pemilihan para fungsionaris Walhi baru. Untuk 3 agenda yang dibahas adalah menyangkut hal-hal yang mendukung fungsionaris baru dalam menjalankan rodanya Walhi, yaitu: - Pembahasan Organisasi (Statuta). Statuta merupakan pedoman bagai para anggota dan pengurus Walhi dalam melakukan gerakan; - Pembahasan Program Kerja (Renstra). Ini merupakan program kerja yang dimandatkan kepada para pengurus Walhi yang baru untuk melaksanakannya; dan - Pembahasan Rekomendasi, yaitu kegiatan-kegiatan yang sekiranya belum masuk pada Statuta dan Program kerja.

Sedangkan acara terakhir adalah pemilihan Dewan Nasional dan Eksekutif Nasional Walhi. Pada pemilihan ini terjadi proses demokrasi yang sebenarnya berlangsung. Sebelum dilakukan pemilihan, para calon diberi kesempatan untuk memaparkan visi, misinya sebagai bentuk komitmen untuk membangun gerakan Walhi yang solid ke depan. Selain itu untuk memperoleh suara terbanyak dilakukan loby, negosiasi dengan para anggota walhi di daerah-daerah. Tentunya loby, negosiasi yang saling menguntungkan.

Mengunjungi Kota Gudeg - Yogyakarta

Minggu, 27 April 2008

Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Kota Gudeg - Yogyakarta

Cerita Mengikuti Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup X Walhi di Yogyakarta.


Tepat pada tanggal 16 April 2008, pukul 15.10 pesawat Batavia dengan tujuan Pontianak – Jakarta – Yogyakarta yang membawa saya dan rombongan dari Pontianak menuju Yogyakarta mendarat di bandara Adi Sucipto. Sampai di bandara Adi Sucipto, sambil menunggu jemputan untuk melanjutkan perjalanan, saya dan kawan-kawan menyempatkan diri mencari makanan ringan (minum, roti) untuk mengganjal perut yang mulai kosong. Sambil menikmati secawan kopi, jus alpokat, dan roti di sebuah warung kecil, salah satu kawan saya mulai bercerita. ”ternyata enak juga ya kopi di Yogya (sebutan singkat Kota Yogyakarta) sambil dia mengisap sebatang rokok LA”, ”Pada hal saya juga baru pertama kali menginjak kota Yogya”, tambah dia lagi.


Tidak terasa sudah satu jam kami duduk di warung kopi, tiba-tiba ada panggilan dari para jemputan memberitahukan bahwa bus yang akan membawa kami ke tempat yang dituju sudah datang. Setelah minuman kami bayar, kami melanjutkan perjalanan kembali. Tidak kurang 30 orang yang menumpang kendaran tersebut, karena selain rombongan kami dari Pontianak ada juga rombongan kawan-kawan dari Aceh dan Sulawesi. Selama perjalanan ke tempat tujuan, banyak pemandangan yang dapat dinikmati, sehingga membuat saya terkagum-kagum dengan kota Yoyga. Yang cukup menarik adalah kebersihan jalan rayanya, ketertiban lalu lintas dan pegunungan yang mengelilingi kota gudek tersebut. Selama perjalanan ke tempat tujuan dengan menggunakan bus tidak ada saya melihat sampah atau truk sampah yang sedang mengangkut sampah. Para pengendara motor, mobil atau bus dengan tertib mengikuti jalur jalan yang sudah di tentukan.


Selama diperjalanan kami bercerita banyak, sehingga saya dan tema-teman mengidentifikasi beberapa hal mengenai kota Yogya, antara lain: makanan khasnya Gudek, disebut juga kota Pelajar karena banyak anak-anak dari luar kota Yogya yang menimba ilmu di kota ini, dan terkenal dengan Kota Rajanya. Sehingga kami sepakat kalau orang mengatakan ingin pergi ke kota Gudek atau kota Pelajar atau Kota Raja, orang sudah tahu bahwa itu adalah Kota Yogyakarta. Menurut cerita kawan-kawan, selain terkenal dengan sebagai kota yang di sebut di atas, kota ini sendiri memiliki banyak berbagai macam tempat rekreasi, tempat wisata.


Tidak terasa bus yang membawa kami tiba-tiba berhenti, kami pun berhenti becerita. Ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, yaitu di Pasar Seni dan Gabusan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarat. Perjalanan kami hanya ½ jam saja dari bandara Adi Sucipto ke Pasar seni dan Gabusan. Di tempat ini kami disambut para panitia pertemuan dan orang kampung yang ada di wilayah gabusan. Kami mengisi daftar hadir sebagai tanda bahwa kami sudah berada di tempat itu. Daftar ini juga digunakan panitia untuk membagi kami dalam beberapa tempat penginapan. Penginapan yang disediakan adalah di rumah-rumah warga kampung gabusan. Setelah sekian lama menunggu pembagian penginapan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan andong (transportasi khas Yogya) untuk diantarkan ke tempat penginapan.


Saya dan 2 orang teman menginap di rumah Pak Harjono, biasa dipanggil Harjo saja dan Ibu Sudilah yang terletak di Jalan Parang Tritis, Kabupaten Bantul, Km 9,5 dari ibu kota Yogya. Pak Harjono adalah Kepala Dusun, sedangkan Ibunya (Ny. Sudilah) sebagai penyiar di RRI Yogyakarta. Wilayah ini terkenal dengan sebutan wilayah Pasar Seni dan Gabusan. Ternyata tuan rumahnya sangat baik dan ramah menyambut kedatangan kami. Kami disambut dengan seyum keramah-tamahan, seolah-olah tak ada beban bagi mereka walaupun telah tekena musibah gempa bumi. Bahkan tuan rumah langsung mempersilakan kami masuk, mandi, makan dan minum. Sebelumnya saya tidak membayangkan tuan rumah yang seramah itu. Saya membayangkan kedatangan kami ”jangan-jangan merepotkan tuan rumah”, karena sebelumnya saya sudah mendapat informasi sedikit bahwa di wilayah ini merupakan salah satu korban gempa bumi pada tahun 2005 silam. Selain tempat penginapan, rumah ini juga sebagai posko bagi peserta yang baru datang. Hampir tiap waktu, tiap saat pasti ada orang yang ingin bertanya mengenai kegiatan dan tempat tinggal bagi peserta lainnya yang baru datang di rumah ini. Otomatis rumah ini jarang kosong.


Pada malam harinya (tanggal 16/4/2008) kami melanjutkan cerita yang sempat terputus semasa masih di bus. Cerita kami bertambah asyik setelah tuan rumah nimbrung dalam bercerita tersebut. Nah, saya sudah mulai berpikir untuk menanyakan mengenai situasi yang ada di kota gudek. Bagaimana perasaan bapak dan ibu pasca gempa bumi dua tahun silam? Saya membuka pertanyaan awal untuk mulai bercerita.


Jawaban Pak Horjo dan Ibu: ”karena sudah cukup lama, maka rasa trauma hampir hilang. Apalagi setelah walhi memutuskan bahwa kampung ini menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan (maksudnya PNLH X). ”Sewaktu gempa rumah kami kebetulan kosong, jadi tidak ada korban, hanya atap, dinding rumah yang roboh. Coba adek-adek liat rumah ini belum sepenuhnya diperbaiki’, tambah ibu lagi sambil menunjukan bekas dinding yang roboh. ”Kami cukup beruntung, karena rumah kami tidak separah seperti rumah yang lainnya. Ada beberapa rumah warga di sekitar sini yang ambruk semua. Bahkan ada keluarga yang semuanya meninggal tertimpa atap dan beton rumah. Banyak pohon-pohon yang tiba-tiba roboh. Jalan raya seperti berkelok-kelok sehingga kalau mengendara motor atau mobil sulit untuk dikendalikan. Dan banyak para pengendara yang menabrak kayu dan batas jalan”, penjelasan Pak Harjono panjang lebar. Saya merasa sedih mendengarkan cerita tersebut, sehingga saya tidak melanjutkan pertanyaan yang lebih dalam karena saya tidak mau mereka menjadi trauma lagi mengingat kejadian tersebut. Untuk itu saya mengalihkan dengan bertanya: ”Bagaimana perasaan bapak dan ibu menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini?


Jawaban: ”kami merasa senang, karena dapat menjadi tuan rumah pertemuan Walhi ini. Dari sini kami dapat mengetahui lebih dekat mengenai kegiatan dan aktivitas yang dilakukan oleh Walhi. Jujur aja, sebelumnya saya tidak mengenal apa itu Walhi, apa kegiatan Walhi sebenarnya, baru ini saja saya mengenal adanya Walhi yang katanya peduli terhadap lingkungan dan korban bencana alam. Dengan adanya pertemuan seperti ini, apalagi kalau melibatkan masyarakat secara menyeluruh maka Walhi akan dikenal oleh masyarakat di mana-mana”, kata Pak Harjono. ”Saya sangat bersyukur dengan adanya pertemuan ini, karena saya dapat mengenal adek-adek yang jauh dari Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Sebelumnya saya tidak pernah bermimpi bisa ketemu dan kenalan dengan kalian semuanya. Mungkin ini hikmah yang diberikan oleh Tuhan kepada kami setelah adanya gempa bumi, sehingga kami bisa ketemu dengan orang-orang Kalimantan”, Ibu menambahkan bapak Harjo.


Untuk menambah asyiknya diskusi, kami bertanya mengenai tempat-tempat yang biasanya ramai dikunjungi tamu-tamu dari luar. Atau tempat-tempat rekreasi lainnya. ”Di sini banyak tempat rekreasi”, kata bapak Harjo. Salah satunya yang cukup tekenal adalah pantai parang tritis, tempat pelelangan ikan, pantai samas, candi brobudur. Pantai parang tritis merupakan pantai yang banyak menyimpan hal-hal misteri dan mistik. Di pantai inilah tempat tinggalnya Nyi Loro Kidul. Tidak mengherankan setiap malam Jumat Kiliwon pasti ada orang-orang baik dari kota Yogya sendiri maupun orang luar yang melakukan upacaya adat di pantai ini. Bahkan di pantai ini telah didirikan sebuah tempat khusus dan permanen oleh Pemda Yogya untuk melakukan upacara adat.


Pantai ini sendiri dianggap angker bagi orang Yogya, karena banyak kejadian-kejadian aneh yang sering terjadi menimpa para pengunjung. Menurut cerita Pak Harjo ”ombak di pantai dapat menyebabkan orang hilang. Dan kalau udah hilang sulit untuk ditemukan. Penyebabnya adalah ombak yang berkulung-gulung ternyata membawa pasir batu, sehingga kalau orang tena ombak, maka dia akan tertimpa oleh pasir batu tersebut”. Dulu pernah kejadian, kata Pak Harjo: ”sebuah bus pariwisata yang membawa rombongan wisata tenggelam dibawa ombak pasir batu. Makin lama, makin bus itu tertimbun oleh pasir batu yang dibawa oleh ombak”. Sehingga dia memberikan saran kepada kami. Kalau ingin ke pantai, jangan berenang di ombak dan jangan bicara yang macam-macam. Saya jadi takut bercampur penasaran mendengar cerita bapak tersebut. Dan banyak lagi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh orang-orang Yogya. Saking asyiknya bercerita tidak terasa hari pun sudah larut malam, kami pun memutuskan menghentikan dulu pembicaraan. Akhirnya saya dan teman-teman meneruskan cerita kota gudek dalam mimpi masing-masing. Kami pun melangkahkan kaki menuju tempat pembaringan yang sudah disiapkan tuan rumah.


Tarian Adat Penyambut Tamu

Senin, 14 April 2008


Masyarakat adat Dayak Limbai memiliki tradisi tersendiri untuk menyambut tamu yang akan datang ke wilayah mereka. Salah satu tradisi yang sampai sekarang masih dilestarikan dan dipraktekan adalah tarian adat. Setiap ada pelaksanaan kegiatan yang melibatkan orang ramai dan mengundang tamu dari luar biasanya dilakukan upacara adat penyambutan tamu yang dimeriahkan dengan tarian adat.

 
Templates para novo blogger